Muawiyah bin
Abu Sufyan, putra dari Abu Sufyan bin Harb, seorang penguasa, hartawan dan
pedagang besar di Makkah yang menguasai perniagaan di Jazirah Arabia. Mereka
berdua, anak dan bapak termasuk tokoh yang gencar memerangi Islam sampai terjadinya
Fathul Makkah. Pada Fathul Makkah ini mereka termasuk dalam kaum yang
dibebaskan dari pembalasan (kaum thulaqa'), dan kemudian memeluk Islam.
Muawiyah terus memperbaiki
keislamannya. Ia mengikuti perang Hunain dan memperoleh ghanimah yang melimpah
ruah sebagaimana kaum muallaf Makkah lainnya. Nabi SAW juga mempercayai dirinya
menjadi salah satu penulis wahyu.
Suatu ketika Nabi SAW pernah
bersabda kepadanya, "Wahai Muawiyah, jika kamu menjadi raja, maka berbuat
baiklah…!!!"
Nabi SAW memang seringkali
mengucapkan suatu sabda yang merupakan ramalan, atau suatu penglihatan ghaib ke
depan tentang apa yang akan dialami oleh beberapa sahabat. Misalnya pada
sahabat Abu Dzar al Ghifari, Abdullah
bin Mas'ud, Suraqah bin Malik, Ammar bin Yasir, Hasan bin Ali (cucu beliau),
dan lain-lainnya. Begitupun yang terjadi pada Muawiyah ini, bahkan di sana
terselip suatu pesan, bahwa dalam kedudukan sebagai raja, ia akan bisa
tergelincir dan melakukan kesalahan dalam kaitannya dengan orang lain, karena
itu berliau menasehatinya, "…..berbuat baiklah…!!"
Tetapi apa yang ditangkap Muawiyah
adalah semacam "restu" dari beliau, karenanya, sejak mendengar sabda
beliau ini, ia sangat menginginkan (berambisi) untuk memegang jabatan khalifah.
Muawiyah memang tidak pernah mengalami masa sulit dan penderitaan dalam
keislamannya, karena bukan termasuk dalam sahabat yang memeluk Islam sejak
awalnya. Ketika memusuhi Islam, kedudukannya terhormat dan mapan, sehingga
praktis kehidupannya selalu dalam kesenangan tanpa derita. Hal ini yang makin
memupuk ambisinya untuk bisa mencapai jabatan tertinggi dalam pemerintahan
Islam.
Pada masa khalifah Abu Bakar, ia
menyertai satu pasukan yang dipimpin oleh Yazid bin Abu Sufyan, kakaknya dalam
memerangi pasukan Romawi di Damsyiq, Syam. Setelah memperoleh kemenangan, Yazid
ditetapkan Abu Bakar sebagai wali negeri Damsyiq. Setelah Yazid wafat, Muawiyah
mengambil alih pimpinan pemerintahan yang sebelumnya dipegang oleh kakaknya,
tetapi kemudian kedudukannya tersebut ditetapkan oleh khalifah Abu Bakar.
Ketika Umar memegang jabatan
khalifah, ia mengadakan kunjungan ke Syam termasuk ke Damsyiq. Melihat gaya
hidupnya yang bermewah-mewah, yang sangat berbeda dengan prinsip hidupnya,
Khalifah Umar berkata kepadanya, "Ini adalah Kisra (Kaisar) Arab….!"
Sepulangnya ke Madinah, ia
menerbitkan surat pemecatan Muawiyah sebagai wali negeri Damsyiq, dan
mengirimkan Sa'id bin Amir sebagai penggantinya. Seorang sahabat Nabi SAW yang
memiliki prinsip hidup sederhana dan membenci kemewahan, seperti halnya Umar sendiri.
Dalam riwayat lain, bukanlah wali negeri Damsyiq, tetapi wali negeri Homs,
suatu wilayah yang sama-sama berada di Syam.
Pada pemerintahan Khalifah Utsman
bin Affan, Muawiyah ditetapkan sebagai gubernur untuk seluruh wilayah Syam,
termasuk Palestina. Sebenarnya banyak keluhan masyarakat Syam tentang
kepemimpinan Muawiyah dan juga keberandalan putranya, tetapi semua laporan dan
keluhan masyarakat tersebut disembunyikan oleh sekretaris Khalifah Utsman,
Marwan yang memang masih saudara sepupu Muawiyah.
Setelah wafatnya Utsman dan hampir
masyarakat muslim memba'iat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, Muawiyah
menolak untuk berba'iat. Ia berhasil menghimpun kekuatan di Syam dan melakukan
perlawanan terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Muawiyah memang memiliki
kecerdikan dan kemampuan strategi serta politik yang hebat. Dengan dalih
menuntut balas atas kematian khalifah Utsman, ia berhasil mempengaruhi beberapa
sahabat untuk bertikai dengan Ali dan memihak pada dirinya. Dan dengan suatu
muslihat pula, ia berhasil menurunkan Ali dan meneguhkan dirinya sebagai
khalifah, atau tepatnya Raja, karena hanya masyarakat Syam saja yang sepakat
memba'iatnya, sedangkan masyarakat di luar Syam tidak bulat mendukungnya.
Beberapa sahabat memilih abstain,
tidak memilih dan memihak pada salah satu kubu, dan tidak ingin terlibat dalam
perselisihan dua kelompok kaum muslimin tersebut. Di antara sahabat utama yang
memilih sikap ini adalah Abdullah bin Umar, Usamah bin Zaid, Sa'ad bin Abi
Waqqash dan Muhammad bin Maslamah. Muawiyah beranggapan, bahwa penolakan mereka mendukung Ali, sebagaimana
sahabat utama lainnya, karena mereka tidak mengakui keutamaan Ali atau
meragukan berhak tidaknya Ali sebagai khalifah. Muawiyah sangat menginginkan
dukungan mereka untuk mengokohkan kedudukannya sebagai Amirul Mukminin
(khalifah, dalam pemahamannya). Ia mengirimkan beberapa utusan menemui mereka
dan mempengaruhi mereka agar mendukung
dirinya. Bahkan para utusannya tersebut dipesankan untuk membawa bahasa
diplomasi yang cerdas, "Sesungguhnya tuan-tuan lebih berhak menduduki
kekhalifahan daripada Ali."
Tetapi apa yang diharapkan oleh
Muawiyah jauh sekali dari kenyataan. Bahkan ia seolah menerima tamparan keras
dengan jawaban mereka.
Abdullah bin Umar menjawab ajakannya
dengan ucapan, "Apa yang kamu harapkan dariku, adalah sesuatu yang
menjadikan dirimu seperti sekarang ini…Aku tidak bergabung dengan Ali bukan
karena aku mencurigainya. Demi Allah, aku sama sekali tidak setaraf dengan Ali
bin Abi Thalib, baik dalam hal keimanan, hijrah dan kedudukannya di sisi
Rasulullah SAW, dan juga perjuangannya dalam melawan kemusyrikan…. Tetapi yang
terjadi sekarang ini, sama sekali tidak pernah terjadi di masa Rasulullah SAW,
karena itu saya tidak ingin memihak siapapun!! Jangan coba-coba mempengaruhi
diriku..!!"
Kalau Abdullah bin Umar mengakui
tidak selevel dan sederajad dengan Ali, bagaimana dengan Muawiyah??
Dan Sa'd bin Abi Waqqash memberikan
jawaban seperti ini, "Persoalan ini sejak awal tidak aku sukai dan
akhirnyapun tidak aku sukai…Seandainya Thalhah dan Zubair tetap tinggal di
rumahnya masing-masing, tentu itu lebih baik bagi mereka…Semoga Allah SWT
mengampuni Ummul Mukminin (Aisyah RA) atas apa yang telah terjadi. Sungguh saya
tidak akan pernah memerangi Ali selama-lamanya Saya telah mendengar Rasulullah
SAW bersabda kepada Ali : Kedudukanmu di sampingku, adalah laksana Harun di
sisi Musa, hanya saja tidak ada lagi Nabi sesudahku…."
Memang, tiga orang utama, Aisyah RA
(Ummul Mukminin), Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam sempat termakan
fitnah yang dihembuskan oleh Muawiyah. Atas dalih "menuntut balas pembunuh
Utsman", mereka memimpin sekelompok pasukan melawan Ali yang dianggap
tidak tegas terhadap pembunuh Utsman. Pertentangan bersenjata yang dikenal
dengan nama Perang Jamal (Perang Berunta), sebenarnya berakhir damai karena
Thalhah dan Zubair yang memimpin pasukan tersebut akhirnya menyadari
kesalahannya, dan mundur dari pertempuran. Hanya saja ada beberapa orang yang
tidak puas dengan gagalnya pertempuran, segera membunuh Thalhah dan Zubair,
yang sama sekali tidak melakukan perlawanan. Sedangkan Ummul Mukminin Aisyah RA
dikawal pulang ke Madinah dengan pengawalan pasukan yang dipimpin Muhammad bin
Abu Bakar, saudaranya sendiri yang berada di pihak Ali.
Sedangkan Muhammad bin Maslamah
memberikan jawaban yang tegas, tanpa tedeng aling-aling, "…Sesungguhnya
kamu (wahai Muawiyah), demi nyawaku, yang kamu cari tidak lain hanyalah
duniawiah semata, dan yang kamu perturutkan tidak lain adalah hawa nafsu
belaka. Kamu membela Utsman di kala ia telah wafat sedangkan semasa hidupnya,
engkau hanya merongrongnya…. Andaikata sikapku ini tidak sesuai dengan yang
kamu harapkan, hal itu sedikitpun tidak mengurangi kesenanganku dan tidak
menyebabkan keraguanku. Sungguh aku lebih
mengenal dan mengetahui kebenaran daripada engkau…!!"
Inilah sebagian dari fitnah yang
terjadi di kalangan umat Islam saat itu, fitnah, yang kata Al qur'an lebih
besar (dosanya) daripada pembunuhan. Terbunuhnya kaum muslimin akibat fitnah
ini jauh lebih banyak daripada sekedar pembunuhan biasa, dan itu dilakukan oleh
orang islam sendiri. Fitnah yang hampir pasti tidak bisa dihindarkan karena
Nabi SAW telah meramalkan sebelumnya, dengan berbagai sabda beliau kepada
beberapa orang sahabat yang
berbeda-beda.
Terlepas dari peran kontroversial
Muawiyah dalam situasi fitnah yang tidak terhindarkan ini, wilayah Islam makin
meluas dalam masa pemerintahannya, bahkan menjangkau wilayah Eropa sekarang
ini. Bagaimanapun juga Muawiyah seorang sahabat Nabi SAW, dan kita sama sekali
"tidak pantas" untuk melakukan penilaian apalagi "hujatan"
atas apa yang telah dilakukan Muawiyah. Kita serahkan semuanya kepada Allah,
Dialah Pemilik Rahasia Takdir dan Arsitek semua peristiwa yang telah terjadi di
antara para sahabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar