Selasa, 31 Maret 2015

PERISTIWA PERANG GAJAH



Pada zaman Abdul Muththalib bin Hasyim, kakek Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, peristiwa pasukan bergajah terjadi dan bertepatan dengan tahun kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ringkasan kisahnya adalah Abrahah yang menjabat sebagai Wakil Raja Habasyah yang berkedudukan di Yaman. Dia menyaksikan orang-orang Arab berbondong-bondong datang ke Mekah setiap tahun untuk menunaikan ibadah haji, maka kemudian dia membangun sebuah gereja besar dan mewah di Yaman dan menamakannya dengan Al-Qulais. Dia bermaksud mengalihkan tujuan orang-orang Arab yang setiap tahun bepergian ke Mekah menunaikan ibadah haji untuk menuju ke gereja megah yang dibangun di Yaman. Kejadian tersebut didengar oleh seorang laki-laki dari Bani Kinanah. Dia melakukan perjalanan menuju gereja tersebut dan memasukinya pada suatu malam, kemudian melumuri dinding-dindingnya dengan kotoran. Abrahah yang mendengar berita tersebut marah besar dan memutuskan untuk menghancurkan Ka’bah. Dia kemudian memimpin langsung sebuah pasukan tentara yang berjumlah 60.000 dengan fasilitas pasukan yang dilengkapi oleh beberapa ekor gajah. Mereka berjalan menuju tujuan dan tidak ada satu pun kekuatan yang berani menghadangnya hingga tiba di sebuah tempat bernama Al-Maghmas[1].
Di tempat itulah, mereka menggiring harta milik orang-orang Quraisy yang di antaranya 200 ekor unta milik Abdul Muththalib. Hal tersebut menyebabkan Abdul Muththalib yang pada waktu itu menjadi tokoh masyarakat Quraisy datang menemui Abrahah. Begitu Abrahah melihat Abdul Muththalib, dia memberikan penghormatan dan memuliakannya. Tatkala Abrahah bertanya apa maksud kedatangannya, dia berkata, “Maksud kedatangan saya adalah berharap Raja mengembalikan unta-unta saya yang ditawan.”
Abrahah berkata, “Semula saya kagum kepadamu saat melihat kedatanganmu, kemudian saya tidak lagi menghargaimu setelah kamu berbicara kepadaku. Apakah kamu hanya memikirkan untamu dan sama sekali tidak membicarakan tentang Ka’bah yang merupakan agamamu dan agama leluhurmu, padahal kedatanganku kemari adalah untuk menghancurkannya?”
Abdul Muththalib berkata, “Saya adalah pemilik unta-unta itu. Adapun Ka’bah, maka Pemiliknyalah yang akan menjaganya.”
Abrahah berkata, “Tidak akan ada yang mampu mencegah saya.”
Abdul Muththalib berkata, “Itu urusan kamu dan Pemiliknya” (maksud pemilik Ka’bah adalah Allah Ta’ala).
Orang-orang Quraisy keluar berlindung ke gunung dan menanti sambil melihat apa yang akan dilakukan oleh tentara Abrahah.”
Abrahah mempersiapkan pasukannya untuk melanjutkan perjalanan menuju Mekah, tatkala pasukan memerintahkan gajah yang bernama Mahmud itu untuk berjalan menuju Mekah, ternyata gajah tersebut duduk (tidak mau jalan). Mereka akhirnya memaksanya dengan memukulinya, tetapi dia tetap enggan untuk berjalan. Namun, ketika mereka mengarahkan ke arah selain Mekah ternyata gajah itu mau berjalan. Tidak lama kemudian datanglah pasukan burung Ababil (burung yang datang berkelompok) yang membawa batu-batu di moncong mereka dan ketika batu-batu tersebut menimpa seorang di antara mereka, ia menjadi binasa, Allah Ta’ala berfirman,
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” (QS. Al-Fil: 1-5).
Peristiwa pasukan bergajah terjadi pada bulan Muharram bertepatan dengan akhir Februari atau awal bulan Maret tahun 571 Miladiyah, atau sekitar sebulan setengah sebelum kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam

Jumat, 20 Maret 2015

Mengajari Keledai Membaca



Disuatu pagi yang cerah abu nawas mendapati beberapa orang pengawal istana bertubuh tegap berdiri didepan rumahnya. Semua pengawal istana tersebut memakai baju perang lengkap dengan kuda-kuda yang berbaris rapi. Melihat pemandangan yang tak biasa didepan rumahnya tersebut, abu nawaspun bertanya kepada salah satu pengawal istana.
“Ada apakah gerangan kalian para pengawal istana di pagi hari ini sudah berada dirumahku.” Kata abu nawas.
“kami kesini atas perintah baginda Raja untuk mengundangmu ke istana,” tutur salah seorang pengawal.
Dengan rasa penasaran, Abu nawas bergegas masuk kedalam untuk minta ijin berganti pakaian dan berpamitan dengan istrinya. Tak lama kemudian, Abu Nawas bersama para pengawal menuju istana untuk menemui Raja.
Baginda raja didalam istana sudah menunggu lama kedatangan Abu Nawas. Dirinya sudah menyiapkan seekor keledai untuk dihadiahkan kepada Abu Nawas.entah apa yang ada dibenak baginda Raja sehingga beliau akan memberikan seekor keledai kepada Abu Nawas. Beberapa saat kemudian Abu Nawas tiba diistana. “kemari wahai Abu Nawas yang dipuja masyrarakat. Dirimu akan ku beri sebuah hadiah,”tutur sang raja. Abu nawaspun nampak sumringah mendengar pernyataan baginda.
“hadiah apa yang hendak Baginda Raja berikan padaku? Dan atas dasar apa Yang Mulia memberikannya kepadaku?” tanya Abu Nawas yang kali ini merasa sada sesuatu yang aneh. “engkau akan ku beri seekor keledai dan ajari keledai itu untuk membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali kemari dan kita lihat hasilnya,” kata baginda raja.
Abu nawas lantas kebingungan dengan permintaan baginda raja yang rasanya sangat tidak mungkin untuk mengajar seekor keledai untuk membaca . manurutnya, manusia diciptakan di bumi ini sebagai makhluk yang paling cerdas. “tak mungkin seekor keledai bisa membaca, bagaimana mungkin dapat mengajari keledai membaca?” tanya Abu nawas dalam hati.
Tak terasa, dua minggu berlalu, Abu nawaspun kembali ke istana sesuai permintaan Baginda Raja sambil menggiring seekor keledai. Sesampainya dihadapan baginda raja, tanpa banyak bicara, baginda raja lantas  menunjuk ke sebuah buku besar. Abu nawas menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampilnya. Si keledai menatap buku itu, dan tak lama kemudian mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus. Dibaliknya setiap halaman sampai halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap abu nawas.
“demikianlah keledaiku sudah bisa membaca,”kata abu nawas.
Bagaimana caramu mengajari dia membaca?” tanya baginda raja.
Abu nawas bercerita bahwa sesampainya dirumah, dirinya menyiapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan disisipkannya biji gandum didalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halaman agar bisa memakan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untukm membalik-balik halaman buku dengan benar.
“tapi, bukankah keledai itu tidak mengerti apa yang dibacanya?” tanya baginda raja yang masih tidak puas dengan jawaban Abu nawas.
“memang demikianlah cara keledai membaca, hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka buku-buku tanpa mengerti isinya,maka kitapun akan disamakan dengan seekor keledai, bukan?” jawab abu nawas yang membuat Raja dan para tamunya tercengang.

Sabtu, 14 Maret 2015

Belajar dari Kisah si Lalat dan Semut


Pada tong sampah yang berada tepat di depan sebuah rumah terlihat sekelompok lalat yang beterbangan sambil menikmati santapannya. Beberapa ekor diantara lalat-lalat tersebut terkadang ada yang secara tidak sengaja masuk ke dalam rumah dan terkurung di dalamnya karena mencoba mencari makanan lainnya yang ada di dalam rumah.
“Saya merasa sangat bosan dengan sampah-sampah tersebut, sekarang saatnya menikmati makanan segar dan lebih lezat!”, kata seekor lalat yang berhasil masuk ke dalam rumah. Ternyata, pintu rumah di tutup oleh tuan rumah, maka lalat tersebut terjebak di dalam ruangan tempat ia mendapatkan santapan yang katanya lezat itu. Kemudian si lalat terbang kesana kemari berjuang agar bisa keluar dari rumah tersebut. Dan akhirnya, ia hanya bisa terbang menuju kaca jendela rumah tersebut yang tidak terdapat rongga untuk membuat si lalat kembali bebas ke luar. Sejenak seekor lalat yang terjebak itu terdiam sambil melihat teman-temannya yang melambaikan tangan dan mengajaknya untuk kembali menikmati santapan bersama yang berada di tong sampah depan rumah itu.
Dengan berjuang sekuat tenaga, si lalat hanya bisa terbang di sekitar kaca. Terbang dan menabrak kaca, terus berusaha ke sisi lainnya dengan seperti itu. Terus dan terus secara berulang-ulang ia lakukan agar dirinya bisa bebas kembali bersama teman-temannya di luar sana. Tanpa disadari, senja pun datang dan semakin malam. Lalat yang terjebak itu hanya melihat kegelapan di luar sana dan tidak lagi melihat keberadaan teman-temannya dari balik kaca. Perlahan, ia mulai lemas dan akhirnya mati.
Beberapa saat kemudian, tidak jauh dari keberadaan si lalat yang sudah mati itu nampak segerombolan semut merah yang berjalan beriringan keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Dan ketika mereka menjumpai lalat yang sudah tidak berdaya itu, dengan kekompakan mereka langsung mengerumungi dan menggigiti tubuh lalat itu hingga mereka dapat memastikan bahwa si lalat benar-benar mati. Setelah si lalat mati, segerombolan semut itupun mengangkut bangkai lalat yang naas itu menuju sarang mereka.
Cerita motivasi kisah lalat dan semut
Dalam perjalanan sekawanan semut menuju ke sarangnya, seekor semut kecil bertanya kepada temannya yang lebih besar. “Ada apa dengan lalat ini Paman? Mengapa ia harus kita gigiti hingga mati seperti yang telah Paman lakukan bersama teman-teman tadi?”. Kemudian semut yang besar menjawab pertanyaannya, “Hhmm, itu adalah hal yang biasa. Sebenarnya kita seringkali menemukan lalat-lalat yang terkulai lemas atau mati seperti ini. Paman sadar, bahwa sebenarnya ia telah berusaha dan berjuang keras untuk dapat keluar dari kaca jendela disana. Namun ketika si lalat merasa tak lagi dapat menemukan jalan keluar, ia merasa frustasi, kelelahan, dan akhirnya jatuh terkulai lemas, sekarat, dan mati. Akhirnya, dia menjadi menu santapan makan malam kita”.
Semut kecil terlihat mengangguk-angguk untuk bisa memahami maksud sebenarnya dari jawaban si semut besar. Kemudian karena masih merasa penasaran, semut kecil kembali bertanya. “Aku masih belum mengerti maksudmu Paman, bukannya Paman tadi mengatakan bahwa lalat tersebut sudah berusaha dan berjuang keras?!? Tapi kenapa tidak berhasil?!”.
Semut besar yang sedang berjalan bersama kawanannya sambil memanggul lalat malang itu akhirnya menghentikan langkahnya secara spontan dan menjawab, “Lalat itu tidak mengenal menyerah dan telah mencoba untuk membebaskan diri berulang kali. Hanya saja, ia melakukannya selalu dengan cara yang sama”. Lalu, dengan mimiknya yang lebih serius, si semut besar itu kembali mengatakan sesuatu kepada semut kecil sambil mendekatkan wajahnya tepat di hadapan si semut kecil, “Ingat wahai anak muda, jika kamu melakukan sesuatu dengan cara yang sama tapi kamu ingin mendapatkan hasil yang berbeda, maka nasibmu akan sama seperti lalat ini”.

Rabu, 04 Maret 2015

Abu Nawas, Hamil dan Hendak Melahirkan



Sultan Harun Al-Rasyid masygul berat, konon, penyebabnya sudah tujuh bulan Abu Nawas tidak menghadap ke Istana. Akibatnya, suasana Balairung jadi lengang, sunyi senyap. Sejak dilarang datang ke Istana, Abu Nawas memang benar-benar tidak pernah muncul di Istana.

“Mungkin Abu Nawas marah kepadaku,” pikir Sultan, maka diutuslah seorang punggawa ke rumah Abu Nawas.

“Tolong sampaikan kepada Sultan, aku sakit hendak bersalin,” jawab Abu Nawas kepada punggawa yang datang ke rumah Abu Nawas menyampaikan pesan Sultan. “Aku sedang menunggu dukun beranak untuk mengeluarkan bayiku ini,” kata Abu Nawas lagi sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.

“Ajaib benar,” kata Baginda dalam hati, setelah mendengar laporan punggawa setianya. “Baru hari ini aku mendengar kabar seorang lelaki bisa hamil dan sekarang hendak bersalin. Dulu mana ada lelaki melahirkan. Aneh, maka timbul keinginan Sultan untuk menengok Abu Nawas. Maka berangkatlah dia diiringi sejumlah mentri dan para punggawa ke rumah Abu Nawas.

Begitu melihat Sultan datang, Abu Nawas pun berlari-lari menyambut dan menyembah kakinya, seraya berkata, “Ya tuanku Syah Alam, berkenan juga rupanya tuanku datang ke rumah hamba yang hina dina ini.”

Sultan dipersilahkan duduk di tempat yang paling terhormat, sementara Abu Nawas duduk bersila di bawahnya. “Ya tuanku Syah Alam, apakah kehendak duli Syah Alam datang ke rumah hamba ini? Rasanya bertahta selama bertahun-tahun baru kali ini tuanku datang ke rumah hamba,” tanya Abu Nawas.

“Aku kemari karena ingin tahu keadaanmu,” jawab Sultan, “Engkau dikabarkan sakit hendak melahirkan dan sedang menunggu dukun beranak, sejak zaman nenek moyangku hingga sekarang, aku belum pernah mendengar ada seorang lelaki mengandung dan melahirkan, itu sebabnya aku datang kemari.”

Abu Nawas tidak menjawab, ia hanya tersenyum.

“Coba jelaskan perkatanmu. Siapa lelaki yang hamil dan siapa dukun beranaknya,” tanya Sultan lagi.

Maka dengan senang hati berceritalah Abu Nawas. “Konon, ada seorang raja mengusir seorang pembesar istana. Tetapi setelah lima bulan berlalu, tanpa alasan yang jelas, sang Raja memanggil kembali pembesar tersebut ke Istana, ini ibarat hubungan laki-laki dan perempuan yang kemudian hamil tanpa menikah. Tentu saja itu melanggar adat dan agama, menggegerkan seluruh negeri.

Lagi pula apabila seorang mengeluarkan titah, tidak boleh mencabut perintahnya lagi, jika itu dilakukan, ibarat menjilat air ludah sendiri, itulah tanda-tanda pengecut. Oleh karena itu harus berpikir masak-masak sebelum bertindak. Itulah tamsil seorang lelaki yang hendak bersalin, adapun dukun beranak yang ditunggu, adalah baginda kemari,” baginda kemari kata Abu Nawas, adapun beranak yang ditunggu kedatangan Baginda kemari, “kata Abu Nawas.” Dengan kedatangan baginda kemari, berarti hamba sudah melahirkan, yang dimaksud dengan bersalin adalah hilangnya rasa sakit atau takut hamba kepada Baginda.”

“Bukan begitu, kata Sultan. “Ketika aku melarang kamu datang lagi ke istana, itu tidak sungguh-sungguh, melainkan hanya bergurau. Besok datanglah engkau ke istana, aku ingin bicara denganmu. Memang di sana banyak mentri, tetapi tidak seperti kamu. lagipula selama engkau tidak hadir di istana, selama itu pula hilanglah cahaya Balairungku”.

“Segala titah baginda, patik junjung tinggi tuanku,” sembah Abu Nawas dengan takdzim. Tetapi Sultan cuma geleng-geleng kepala. Dan tidak seberapa lama kemudian Sultan pun kembali ke Istana dengan perasaan heran bercampur geli….

Air Susu yang Pemalu

Suatu hari Sultan Harun Al-Rasyid berjalan-jalan di pasar. Tiba-tiba ia memergoki Abu Nawas tengah memegang botol berisi anggur. Sultan pun menegur sang Penyair, “Wahai Abu Nawas, apa yang tengah kau pegang itu?”

Dengan gugup Abu Nawas menjawab, “Ini susu Baginda.”

“Bagaimana mungkin air susu ini berwarna merah, biasanya susu kan berwarna putih bersih,” kata Sultan keheranan sambil mengambil botol yang di pegang Abu Nawas.

“Betul Baginda, semula air susu ini berwarna putih bersih, saat melihat Baginda yang gagah rupawan, ia tersipu-sipu malu, dan merona merah.”

Mendengar jawaban Abu Nawas, baginda pun tertawa dan meninggalkannya sambil geleng-geleng kepala.